Contoh Resensi Buku "Novel Pengakuan Priyem" ini merupakan resensi yang dibentuk saudara saya ketika kuliah mengambil jurusan sastra di salah satu akademi swasta, lantaran berdasarkan admin resensi ini akan mempunyai kegunaan sebagai pembalajaran kalian makanya admin posting saja.
b. Bentuk : Novel
c. Karya : Linus Suryadi Ag.
d. Jenis : Drama Teater
e. Isi :
Pariyem wanita Jawa yang juga sama dengan wanita sedunia, se-Indonesia, se-Jawa dan se-Gunung Kidul lainnya. Tak ubahnya ratu Elisabeth atau istri presiden bahkan ibu rumah tangga lainnya. Yang membedakannya yaitu sifat lapang dada ing pandum yang sekarang sudah tidak terpakai lagi, yang disebut perilaku bodoh di zaman emansipasi. Apalagi kurun dua puluh yang tertinggal jauh bersama dengan kawin paksa dan selir-selirnya raja.
Namun, Pariyem sekarang dimunculkan Linus Suryadi Ag. lewat “Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa)” sebagai tokoh yang mewakili kehidupan wanita bernasib sama yang masih diselimuti kabut. Kalau boleh menengok kepada fakta yang bekerjsama sih banyak sekali “Pariyem” yang rela atau legawa disimpan lelaki berpangkat dan berharta. Seperti para pengusaha, pejabat pemerintahan, dan para pemangku agama.
“Pariyem”nya Linus Suryadi dilukiskan udik, dari Gunung Kidul yang gersang jika kemarau dan masih terbelakang dalam aneka macam hal. Kebersahajaannya dalam memikirkan sesuatu menjadikannya wanita yang beringas dalam tameng kelemahlembutan seorang wanita Jawa yang nggregetno sekali. Keluguannya menyerupai mengajak Tuhan untuk mengampuni dosa-dosanya dalam perzinahan. Tengoklah penggalan dongeng berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. ‘Iyem’ panggilan sehari-harinya. Saya bocah gunung, gulung tikar tubuh dan jiwa harta karun saya…” (hal. 4).
“… O, Allah, Gusti Nyuwun Ngapura. Saya krasan di salam kehidupan. Saya krasan walaupun kesunyian. Biar makan gaplek, makan tela. Tak akan saya tinggalkan.” (hal.52)
“o, Allah, Gusti nyuwun ngapura. Kami telanjang bulat. Bibir saya diciumnya. Ciuman pertama dari seorang pria. Penthil saya diremasnya. Remasan pertama dari seorang pria…” (hal.82)
Novel ini merupakan prosa liris yang kental sekali nuansa Jawanya. Apalagi dengan setting Yogyakarta yang tidak sanggup lepas dengan kehidupan kawula alit pada raja dan keturunannya. Maka korelasi intim melaui jalur perkawinan maupun tidak. dengan darah biru, merupakan keberuntungan atau malah suatu nasib mujur bagi orang menyerupai Pariyem dan aneka macam jenis wanita yang mempunyai kiblat pemikiran serupa dia. Hal ini tampak dalam penggalan berikut:
“Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku. Thuyul yang ada di rahimmmu itu bakal cucuku bukan tanpa eyang. Dia cucu nDoro Ayu, punya putri. Dia keponakan Wiwit, bukan tanpa bulik. Dia anak Ario, bukan tanpa ayah. Dia anak Ario, bukan bocah jadah. Kowe satu potongan dari keluarga di sini. Bila kowe sakit keluarga pun menangung. Kita memelihara dan melestarikan hidup dengan saling kasih dan saling sayang…” (hal.194-195).
Dalam kalimat-kalimat Pariyem di mukalah sanggup penulis ketahui bahwa Pariyem diterima sebagai selir tanpa ijab kabul yang sah. Begitu saja beliau mendapatkan statusnya sebagai selir, yang bagaimanapun tetap berkesan negatif. Dengan bahasa yang arkais ia sanggup disebut : “Pelacur Domestik Khas Jawa” yang menggemaskan istri-istri yang suaminya dipersilakan meniduri wanita menyerupai Pariyem dengan leluasa. Kalau sudah begitu, beliau pun merebut kedudukan cintanya dengn suaminya. Ironisnya, hal ini banyak dilakukan oleh wanita selepas jamannya Pariyem. Bahkan di tahun 2006 ini, ataupun di tahun dan zaman yang peradabannya lebih gres lagi.
Tampaknya permasalahan agama gonjang-ganjing dalam kehidupan Pariyem. Agaam apapun jadi, hanya saja perlu diingat asal ada Tuhan saja. Tuhan yang satu bagi anggapan Pariyem yang lugu dan nerimo. Maka sebagai orang Jawa, konsepsinya pun jadi nJawani. Tuhannya pun asal jadi. Ya, Njawani juga. Namun, perlu digaris bawahi omongan Pariyem bahwa agama apapun akan menjadi sebagai alat perusak jika disalah wewengkan. Lihatlah pengakuannya berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. Adapun kepercayaan saya: gaib Jawa. Tapi dalam kartu penduduk oleh Pak Lurah dituliskan saya beragama Katolik.” (hal.13).
“… Atas nama Tuhan lewat agama apapun bisa berubah Neraka. Agama dan Tuhan menjadi sandaran buat kasak-kusuk dan pokrol bambu. Nafsu, emosi dan sentimen eksklusif menjadi halal jika atas nama Tuhan. Peperangan yaitu buahnya… ” (hal.16-17).
Meskipun demikian, karya Linus ini banyak sekali pelajaran mengenai hidupnya. Tapi kebanyakan amanat yang ingin disampaikan penulis tersirat dan mengalir begitu saja. Seperti kata-kata arkaisnya yang bagaimanapun juga sangat tajam, pengarang bisa menciptakan pembaca mengulang bahasa-bahasa di dalamnya. Hal ini disebabkan bahasa yang dipakai sedikit filsafatis.
Satu hal yang perlu diperhatikan, dan ini merupakan potongan terpenting, yaitu novel ini tidak cocok untuk konsumsi anak di bawah umur. Eksistensi aktivitas seksual yang vulgar serta nJawani kurang layak dibaca. Belum saatnya pola pikit anak-anak dicampuri pola pikir orang dewasa.
Namun, dari segi tema yang didukung kekuatan bahasanya menciptakan penulis salut. Linus menggamblangkan tabir yang selama ini melingkupi kehidupan keraton yang selama ini dipertuhankan oleh orang-orang awam. Selayaknya melalui karya ini orang tersebut sanggup berfikir dewasa. Bahwa adarah biru atau bukan sama-sama manusia. Punya nafsu dan keburukan watak sama menyerupai orang yang berdarah A, B, O atau AB. Bahkan mereka tidak jarang yang bersikap sadistis. Akhlaknya lebih jongkok dari orang biasa.
Penulis mengharapkan bagi pembaca yang belum membaca karya Linus untuk segera membacanya. Mungkin pembaca akan mendapatkan wejangan yang sama menyerupai yang penulis dapatkan. Tendensi yang ditawarkan oleh pengarang sungguh luar biasa. Apalagi bahasanya yang tidak menuding pada orang per orang.
Demikian contoh lengkap resensi buku dari sebuah novel yang berjudul legalisasi priyem biar bermanfaat untuk kalian semua.
Contoh resensi novel " legalisasi pariyem"
a. Judul : Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa)b. Bentuk : Novel
c. Karya : Linus Suryadi Ag.
d. Jenis : Drama Teater
e. Isi :
Pariyem wanita Jawa yang juga sama dengan wanita sedunia, se-Indonesia, se-Jawa dan se-Gunung Kidul lainnya. Tak ubahnya ratu Elisabeth atau istri presiden bahkan ibu rumah tangga lainnya. Yang membedakannya yaitu sifat lapang dada ing pandum yang sekarang sudah tidak terpakai lagi, yang disebut perilaku bodoh di zaman emansipasi. Apalagi kurun dua puluh yang tertinggal jauh bersama dengan kawin paksa dan selir-selirnya raja.
Namun, Pariyem sekarang dimunculkan Linus Suryadi Ag. lewat “Pengakuan Pariyem (Dunia Batin Seorang Wanita Jawa)” sebagai tokoh yang mewakili kehidupan wanita bernasib sama yang masih diselimuti kabut. Kalau boleh menengok kepada fakta yang bekerjsama sih banyak sekali “Pariyem” yang rela atau legawa disimpan lelaki berpangkat dan berharta. Seperti para pengusaha, pejabat pemerintahan, dan para pemangku agama.
“Pariyem”nya Linus Suryadi dilukiskan udik, dari Gunung Kidul yang gersang jika kemarau dan masih terbelakang dalam aneka macam hal. Kebersahajaannya dalam memikirkan sesuatu menjadikannya wanita yang beringas dalam tameng kelemahlembutan seorang wanita Jawa yang nggregetno sekali. Keluguannya menyerupai mengajak Tuhan untuk mengampuni dosa-dosanya dalam perzinahan. Tengoklah penggalan dongeng berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. ‘Iyem’ panggilan sehari-harinya. Saya bocah gunung, gulung tikar tubuh dan jiwa harta karun saya…” (hal. 4).
“… O, Allah, Gusti Nyuwun Ngapura. Saya krasan di salam kehidupan. Saya krasan walaupun kesunyian. Biar makan gaplek, makan tela. Tak akan saya tinggalkan.” (hal.52)
“o, Allah, Gusti nyuwun ngapura. Kami telanjang bulat. Bibir saya diciumnya. Ciuman pertama dari seorang pria. Penthil saya diremasnya. Remasan pertama dari seorang pria…” (hal.82)
Novel ini merupakan prosa liris yang kental sekali nuansa Jawanya. Apalagi dengan setting Yogyakarta yang tidak sanggup lepas dengan kehidupan kawula alit pada raja dan keturunannya. Maka korelasi intim melaui jalur perkawinan maupun tidak. dengan darah biru, merupakan keberuntungan atau malah suatu nasib mujur bagi orang menyerupai Pariyem dan aneka macam jenis wanita yang mempunyai kiblat pemikiran serupa dia. Hal ini tampak dalam penggalan berikut:
“Kowe ya Pariyem, pegang kata-kataku. Thuyul yang ada di rahimmmu itu bakal cucuku bukan tanpa eyang. Dia cucu nDoro Ayu, punya putri. Dia keponakan Wiwit, bukan tanpa bulik. Dia anak Ario, bukan tanpa ayah. Dia anak Ario, bukan bocah jadah. Kowe satu potongan dari keluarga di sini. Bila kowe sakit keluarga pun menangung. Kita memelihara dan melestarikan hidup dengan saling kasih dan saling sayang…” (hal.194-195).
Dalam kalimat-kalimat Pariyem di mukalah sanggup penulis ketahui bahwa Pariyem diterima sebagai selir tanpa ijab kabul yang sah. Begitu saja beliau mendapatkan statusnya sebagai selir, yang bagaimanapun tetap berkesan negatif. Dengan bahasa yang arkais ia sanggup disebut : “Pelacur Domestik Khas Jawa” yang menggemaskan istri-istri yang suaminya dipersilakan meniduri wanita menyerupai Pariyem dengan leluasa. Kalau sudah begitu, beliau pun merebut kedudukan cintanya dengn suaminya. Ironisnya, hal ini banyak dilakukan oleh wanita selepas jamannya Pariyem. Bahkan di tahun 2006 ini, ataupun di tahun dan zaman yang peradabannya lebih gres lagi.
Tampaknya permasalahan agama gonjang-ganjing dalam kehidupan Pariyem. Agaam apapun jadi, hanya saja perlu diingat asal ada Tuhan saja. Tuhan yang satu bagi anggapan Pariyem yang lugu dan nerimo. Maka sebagai orang Jawa, konsepsinya pun jadi nJawani. Tuhannya pun asal jadi. Ya, Njawani juga. Namun, perlu digaris bawahi omongan Pariyem bahwa agama apapun akan menjadi sebagai alat perusak jika disalah wewengkan. Lihatlah pengakuannya berikut:
“Ya. Ya. Pariyem saya. Adapun kepercayaan saya: gaib Jawa. Tapi dalam kartu penduduk oleh Pak Lurah dituliskan saya beragama Katolik.” (hal.13).
“… Atas nama Tuhan lewat agama apapun bisa berubah Neraka. Agama dan Tuhan menjadi sandaran buat kasak-kusuk dan pokrol bambu. Nafsu, emosi dan sentimen eksklusif menjadi halal jika atas nama Tuhan. Peperangan yaitu buahnya… ” (hal.16-17).
Meskipun demikian, karya Linus ini banyak sekali pelajaran mengenai hidupnya. Tapi kebanyakan amanat yang ingin disampaikan penulis tersirat dan mengalir begitu saja. Seperti kata-kata arkaisnya yang bagaimanapun juga sangat tajam, pengarang bisa menciptakan pembaca mengulang bahasa-bahasa di dalamnya. Hal ini disebabkan bahasa yang dipakai sedikit filsafatis.
Satu hal yang perlu diperhatikan, dan ini merupakan potongan terpenting, yaitu novel ini tidak cocok untuk konsumsi anak di bawah umur. Eksistensi aktivitas seksual yang vulgar serta nJawani kurang layak dibaca. Belum saatnya pola pikit anak-anak dicampuri pola pikir orang dewasa.
Namun, dari segi tema yang didukung kekuatan bahasanya menciptakan penulis salut. Linus menggamblangkan tabir yang selama ini melingkupi kehidupan keraton yang selama ini dipertuhankan oleh orang-orang awam. Selayaknya melalui karya ini orang tersebut sanggup berfikir dewasa. Bahwa adarah biru atau bukan sama-sama manusia. Punya nafsu dan keburukan watak sama menyerupai orang yang berdarah A, B, O atau AB. Bahkan mereka tidak jarang yang bersikap sadistis. Akhlaknya lebih jongkok dari orang biasa.
Penulis mengharapkan bagi pembaca yang belum membaca karya Linus untuk segera membacanya. Mungkin pembaca akan mendapatkan wejangan yang sama menyerupai yang penulis dapatkan. Tendensi yang ditawarkan oleh pengarang sungguh luar biasa. Apalagi bahasanya yang tidak menuding pada orang per orang.
Demikian contoh lengkap resensi buku dari sebuah novel yang berjudul legalisasi priyem biar bermanfaat untuk kalian semua.
Advertisement